Joni Hermanto
Joni Hermanto
  • Apr 15, 2022
  • 8258

Melalui Pendekatan Restorative, Copet Yang Nyaris Dihakimi Massa di Pasar Batusangkar di Bebaskan

Melalui Pendekatan Restorative, Copet Yang Nyaris Dihakimi Massa di Pasar Batusangkar di Bebaskan
Foto : Journalist.id, Korban Reni (Jilbab Coklat) Berjabat Tangan Dengan Pelaku ZD (Suwiter Hitam) Saat Dimediasi Oleh Kanit Brika Indra Fardi (Tengah).

TANAH DATAR – ZD (50) Warga Kelurahan Piai Kec.Lubuk Begalung Kota Padang yang tertangkap massa serta nyaris dihakimi, saat melakukan aksinya mencopet dompet seorang ibu rumah tangga di pasar Serikat C Batusangkar, Kamis (14/04) dan videonya sempat viral akhirnya dibebaskan melalui pendekatan Restorative Justice (RJ).

Kapolsek Lima Kaum Polres Tanah Datar, Iptu Fitrianto melalui Kanit Reskrim Bripka Indra Fardi mengatakan korban atas nama Reni Marlina (39) warga Jorong Sungai Leman, Nagari Sungai Tarab Kec. Sungai Tarab Kab.Tanah Datar memaafkan perbuatan pelaku, sehingga pihaknya menyelesaikan perkara dengan melakukan  pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban diluar pengadilan.

Bripka Indra Fardi menuturkan kronologi awalnya ZD membuntuti korban Reni pada saat berbelanja di pasar Batusangkar, korban merasa bahwa tas sandang pakainya ada yang menariknya, sontak korban menoleh kearah pelaku, didapati tasnya sudah terbuka, dan dompet yang ada di dalamnya berisikan uang tunai sebesar Rp. 310 ribu sudah lenyap, korban lalu berteriak sehingga memancing aksi massa, lalu menangkap pelaku.

Setelah di introgasi singkat, oleh massa dan petugas pasar, palaku ZD lalu diserahkan ke polisi.

”Pelaku kita kenakan pasal 364 KUHP, namun Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 2 Tahun 2012  menjadikan pencurian dibawah 2, 5 juta tidak dapat ditahan, karena korban juga sudah memaafkan, akhirnya pelaku kita bebaskan dengan pendekatan JR”, Imbuh Indra Fardi, Jum’at (15/04).

Lebih lanjut, Indra Fardi menjelaskan bahwa prinsip keadilan restoratif atau RJ merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

“Adapun dalam proses dialog dan mediasi untuk perkara ini, selain pelaku dan korban, kita juga melibatkan  keluarga pelaku dan korban. Secara umum, tujuan penyelesaian hukum tersebut guna menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana diluar pengadilan” tuturnya.

Salah satu landasan penerapan RJ  oleh Mahkamah Agung dibuktikan dengan pemberlakuan kebijakan melalui Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung.

Panduan RJ dalam lingkungan peradilan umum diatur dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum yang terbit pada 22 Desember 2020. Tujuan panduan RJ oleh MA adalah mendorong peningkatan penerapan konsep itu dan terpenuhinya asas-asas peradilan yang cepat, sederhana dan biaya ringan dengan keadilan yang seimbang.

Menurut MA, konsep RJ bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482). Selain itu, prinsip RJ juga digunakan terhadap anak atau perempuan yang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahguna narkotika.

Tak hanya MA, Kejaksaan Agung juga menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020. Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.

Selain 2 lembaga penagak hukum tersebut, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo juga menerbitkan surat edaran pada 19 Februari 2021 yang salah satu isinya meminta penyidik memiliki prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.

Yang menjadi fokus utama Sigit dalam penerapan prinsip restorative justice adalah dalam penanganan perkara UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 19 Tahun 2016.

Sementara itu, Listyo menyatakan tindak pidana yang mengandung unsur SARA, kebencian terhadap golongan atau agama dan diskriminasi ras dan etnis, serta penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran tidak dapat diselesaikan dengan restorative justice.

Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah dilakukan sejak terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). (JH)

Penulis :
Bagikan :

Berita terkait

MENU